Menurut keyakinan kita, sejarah pembentukan masyarakat dimulai dari keluarga
Adam dan Hawa sebagai unit terkecil dari masyarakat besar umat manusia di muka
bumi. Dalam keluarga Adam itulah telah dimulai proses kependidikan umat
manusia, meskipun dalam ruang lingkup terbatas sesuai dengan kebutuhan untuk
mempertahankan hidupnya.
Dasar minimal dari usaha mempertahankan hidup manusia terletak pada orientasi
manusia ke arah 3 (tiga) hubungan, yaitu :
- Hubungan manusia dengan Yang Maha Pencipta yaitu Tuhan sekalian alam.
- Hubungan dengan sesama manusia. Dalam keluarga Adam, hubungan tersebut terbatas pada hubungan antar anggota keluarga.
- Hubungan dengan alam sekitar yang terdiri dari berbagai unsur kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang dan kekuatan alamiah yang ada.
Dari prinsip
hubungan inilah, kemudian manusia mengembangkan proses pertumbuhan
kebudayaannya. Proses inilah yang mendorong manusia ke arah kemajuan hidup sejalan dengan
tuntutan yang semakin meningkat.
Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai
Allah kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar
dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya.
Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang
sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya
di segala bidang.
Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan
kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara
dengan tingkat daya cipta, daya rasa dan daya karsa masyarakat beserta anggota-anggotanya.
Oleh karena antara manusia dengan tuntutan hidupnya
saling berpacu berkat dorongan dari ketiga daya tersebut, maka pendidikan
menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikata, pendidikan merupakan kunci dari
segala bentuk kemajuan hidup umat manusia sepanjang sejarah.
Pendidikan berkembang dari yang sederhana
(primitive), yang berlangsung dalam zaman dimana manusia masih berada dalam
ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuannya pun amat
terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahanan hidup terhadap ancaman
alam sekitar). Yaitu keterampilan membuat alat-alat untuk mencari dan
memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidup, beserta pemeliharaannya. Kemudian
diciptakan pula alat-alat untuk mengolah hasil-hasil yang diperoleh menjadi
bahan yang sesuai dengan kebutuhan.
Akan tetapi ketika manusia telah dapat membentuk
masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi,
pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada
pengembangan kemampuan-kemampuan teoritis dan praktis berdasarkan konsep-konsep
berpikir ilmiah.
Kemampuan konsepsional demikian berpusat pada
pengembangan kecerdasan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, faktor daya pikir
manusia menjadi penggerak terhadap daya-daya lainnya untuk menciptakan
peradaban dan kebudayaan yang semakin maju pula. Maka dalam proses perkembangan
sejarah pendidikan, masyarakat manusia menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang
bersifat dinamis, oleh karena antara pendidikan dengan masyarakat umat manusia
terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi (interaktif). Di satu pihak
masyarakat dengan cita-citanya, mendorong terwujudnya pendidikan sebagai sarana
untuk merealisasikan cita-cita, sedang di lain pihak pendidikan itu mencambuk
masyarakatnya untuk bercita-cita lebih maju lagi. Bahkan pendidikan dalam suatu
waktu tertentu menjadi pendobrak terhadap keterbelakangan cita-cita
masyarakatnya.1)
Dengan demikian antara pendidikan dan masyarakat
terjadi perpacuan (kompetisi) untuk maju. Itulah salah satu ciri dari
masyarakat yang dinamis di mana pendidikan menjadi tumpuan kemajuan
perkembangan hidupnya.
Khususnya masyarakat Islam yang berkembang sejak
zaman Nabi Muhammad Saw. Melaksanakan missi sucinya menyebarkan agamanya,
pendidikan juga merupakan kunci kemajuan. Sumber-sumber pokok ajaran Islam yang
berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, banyak mendorong pemeluknya untuk menciptakan
pola kemajuan hidup yang dapat mensejahterakan pribadi dalam masyarakat,
sehingga dengan kesejahtaraan yang berhasil diciptakannya, manusia secara
individual dan sosial, mampu meningkatkan derajat dan martabatnya, baik bagi
kehidupannya di dunia maupun di akhirat nanti. Derajat dan martabatnya sebagai
khalifah di muka bumi dapat diraih berkat usaha pendidikan yang bercorak Islami
itu.
Sejalan dengan missi agama Islam yang diturunkan
Allah Swt. Kepada manusia, proses kependidikan Islam berusaha merealisasikan
missi itu dalam tiap pribadi manusia yaitu ”menjadikan manusia sejahtera dan
bahagia dalam cita Islam”.
Cita-cita Islam mencerminkan nilai-nilai normatif
dari Tuhan yang bersifat abadi dan absolut dalam pengamalannya tidak mengikuti
selera nafsu dan budaya manusia yang berubah-ubah menurut tempat dan waktu.
Nilai-nilai Islam yang demikian itulah yang
ditumbuh kembangkan dalam diri pribadi manusia melalui proses transpormasi
kependidikan. Proses kependidikan yang mentranspormasikan (merubah) nilai
tersebut selalu berorientasi kepada kekuasaan Allah Swt, dan Iradah-nya yang
menentukan keberhasilannya. Kemajuan peradaban manusia yang melingkupi
kehidupannya, bagi manusia yang berkepribadian Islam, hasil proses kependidikan
Islam akan tetap merasa berada dalam lingkaran hubungan vertikal dengan
Tuhannya, dan hubungan horizontal dengan masyarakat.
Adapun metode dasar untuk mendidik manusia agar
mampu mengembangkan diri dalam kehidupan yang semakin luas dan kompleks,
terutama dalam memahami, menghayati dan mengamalkan missi agama Islam,
berpangkal pada kemampuan membaca dan menulis dengan kalam, tidak saja sekedar
membaca dan tulisan atau menuliskan hasil pengamatan, akan tetapi juga membaca,
memahami, dan menjelaskan gejala alamiah yang diciptakan Tuhan dalam alam
semesta ini.
Agar mampu membaca dengan tepat dan mendalam. Allah
Swt, memberikan kepada manusia suatu kemampuan kecerdasan berpikir dan
menganalisa gejala alam. Untuk itu Allah Swt, senantiasa mendorong manusia agar
memfungsikan akal pikirannya untuk menganalisa tanda-tanda kekuasaan-nya yang
nampak dalam alam semesta ciptaan-nya. Tidak kurang dari 300 kali Allah Swt,
menyebutkan motivasi berpikir dalam kitab Al-Qur’an.
Kitab-kitab-nya (gaya bahasa) dan Al-Qur’an pun
hanya ditujukan kepada manusia, bukan kepada binatang atau tumbuh-tumbuhan
serta benda-benda mati.
Keutamaan makhluk manusia yang lebih dari makhluk
lainnya adalah terletak pada kemampuan akal kecerdasannya. Oleh karena itu,
kemampuan membaca dan menulis tersebut adalah yang pertama-tama diperintahkan
oleh Allah Swt, kepada utusannya, Muhammad Rasulullah Saw, dalam wahyu
pertamanya yang diturunkan kepda beliau, yaitu Surat Al-Alaq ayat 1 s.d 5. dan
setelah dapat membaca dan menulis, manusia baru melangkah ke tingkat proses
mengetahui hal-hal yang baru yang belum diketahui, sebagaimana Allah Swt,
mengajarkan hal-hal itu kepadanya.
عَلَّمَ اْلاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Dengan mengetahui segala sesuatu yang terhampar di
alam semesta dan yang berada di balik alam semesta, berulah manusia dapat
beriman melalui kesadarannya. Jadi, dengan melalui proses membaca dan menulis
dan mengatahui, kemudian beriman, manusia baru dapat menduduki tingkat atau
derajat yang tinggi, sebagaimana dinyatakan Allah Swt dalam surat Al-Mujadalah
ayat 11.
يَرْ فَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ
اٰمَنُوُا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُواالعِلْمَ دَرَجَا تٍ (المجا د لة
١١)
Pengetahuan itulah yang mengantarkan manusia yang
selalu berpikir dan menganalisa gejala alam ke arah ”berilmu pengetahuan” yang
dilandasi dengan dzikir kepada Allah Swt. Menghasilkan berbagai jenis perangkat
alat-alat teknologi untuk memajukan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan
di akhirat.
Metode pendidikan Islam yang mendorong dan
mengaktualisasikan serta memfungsikan segenap kemampuan kejiwaan yang naluriah,
seperti akal pikiran, kemauan, perasaan manusia yang ditunjang dengan kemampuan
jasmaniahnya, manusia akan berhasil dididik dan diajar sehingga menjadi manusia
muslim paripurna, yaitu manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan beramal
sholeh sesuai dengan tuntunan ajaran Islam seperti difirmankan Allah SWT. dalam
Surat Ali-Imran Ayat : 190-191.
اِنَّ فِى
خَلْقِ السَّمٰوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلٰفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيَاتٍ
ِلاُولِى اْلاَلْبَابِ٭ اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَا مًا وَقُعُوْدًا
وَعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِى خَلْقِ السَّمٰوَاتِ وَاْلاَرْضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلاً سُبْحَا نَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
(ال عمران ١٩٠ – ١٩١)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir; (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali-Imran, 190 – 191).
Dengan demikian jelaslah, bahwa Islam mengajarkan
kepada manusia untuk melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya, berdasarkan
pandangan bahwa anak sebagai makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang ke
arah kedewasaannya, memiliki kemampuan dasar yang dinamis dan responsif
terhadap pengaruh dari luar dirinya, sehingga dalam proses mendidik tidak perlu
terjadi pemaksaan-pemaksaan (otoriter) karena perbuatan demikian berlawanan
dengan fitrah Allah Swt. Yaitu kemampuan dasar berkembang yang telah
dianugrahkan Allah kepada tiap diri manusia.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, anak
harus dipandang sebagai hamba Allah yang paling mulia dengan kemampuan dan
bakatnya dapat berkembang secara interaktif atau dialektis (saling pengaruh-mempengaruhi)
antara kemampuan dasarnya dengan pengaruh pendidikan (ajar). Dengan demikian,
pendidikan Islam menempatkan anak didik tidak saja menjadi objek pendidikan,
melainkan juga memandangnya sebagai subjek didik.
Dalam hubungan dengan proses tersebut fungsi
pendidikan Islam adalah sebagai pembimbing dan pengarah perkembangan dan
pertumbuhan anak didik dengan sikap dan pandangan bahwa anak didik adalah hamba
Allah yang diberi anugerah berupa potensi dasar yang mengandung tendensi untuk
berkembang atau bertumbuh secara interaktif atau dialektis dengan pengaruh
lingkungan.
Atas dasar konsepsional dari pola pikir demikian
itulah, maka pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses
kependidikan yang bersifat progressif menuju ke arah kemampuan optimal anak
didik yang berlangsung di atas landasan nilai-nilai ajaran islam.
Dengan demikian, maka pendidikan Islam dalam
prosesnya harus berlangsung secara kontekstual dengan nilai-nilai, karena Islam
sebagai agama wahyu mengandung sistem nilai yang menjadi pedoman hidup umat
manusia dalam segala bidang, termasuk bidang kependidikan. Dalam kehidupan umat
manusia baik secara individual maupun sosial, selalu dipengaruhi oleh sistem
nilai, baik nilai kultural maupun nilai keagamaan. Sistem nilai yang bersumber
pada kultur (kebudayaan) bersifat relatif (bergantung pada) yang bersifat tidak
tetap, sedang sistem nilai agama wahyu (Islam) bersifat absolut (mutlak) tidak
berubah-ubah mengikuti selera budaya manusia.
Secara teoritis pendidikan Islam sebagai Ilmu atau
disiplin ilmu adalah merupakan konsepsi kependidikan yang mengandung berbagai
teori yang dikembangkan dari hipotesa-hipotesa atau wawasan yang bersumber dari
kitab suci Al-Qur’an atau Al-Hadist, baik dilihat dari segi sistem, proses dan
produk (hasil) yang diharapkan maupun dari segi missionair-nya (tugas pokoknya)
untuk membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya.
Dalam proses kependidikan Islam terdapat problema-problema yang komples (tidak
sederhana), oleh karena melibatkan berbagai input instrumental (guru,
metode, kurikulum, sarana) dan dari input environmental (kebudayaan,
tradisi, mitos, kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang di lingkungan
sekitar) yang harus dijadikan bahan-bahan perumusan kebijaksanaan operasional.
Untuk mengarahkan proses yang konsisten sesuai
cita-cita pendidikan Islam, maka fungsi Ilmu Pendidikan Islam teoritis adalah
sebagai penunjuk jalan bagi proses operasionalisasinya. Proses operasionalisasi
ini lah yang akan menjadi umpan balik (feed back) yang mengkoreksi berbagai
teori yang disusun dalam Ilmu Pendidikan Islam, misalnya tentang bagaimana cara
mendidik keimanan kepada anak didik atau berbagai dampak negatif dari kemajuan
IPTEK (Ilmu dan Teknologi) harus ditangkal melalui pendidikan Islam dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar